Kurikulum Merdeka, program pembelajaran baru yang dirancang untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, telah menjadi topik hangat perbincangan. Inisiatif pemerintah ini menuai beragam reaksi, baik dukungan maupun kritik. Di tengah gejolak informasi, penting bagi kita untuk membedakan mitos dan fakta mengenai Kurikulum Merdeka.
Artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih akurat tentang Kurikulum Merdeka, menyingkap mitos dan fakta yang beredar, serta memberikan gambaran tentang penerapannya di lapangan.
Mitos 1: Kurikulum Merdeka Menambahkan Beban Pekerjaan Guru
Banyak yang berpendapat bahwa Kurikulum Merdeka akan menambah beban kerja guru karena mencakup lebih banyak materi dan kegiatan.
Fakta:
Kurikulum Merdeka justru dirancang untuk memberdayakan guru. Fokusnya adalah memberikan kebebasan bagi guru dalam menentukan metode pembelajaran dan strategi pengajaran. Guru memiliki fleksibilitas tinggi dalam merancang pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik siswa mereka.
Hal ini berarti guru dapat memanfaatkan materi yang telah tersedia dan mengembangkan pembelajaran yang lebih kreatif dan menarik, sesuai konteks dan potensi siswa.
Mitos 2: Kurikulum Merdeka Menghapus Sistem Psikotes dan UKK
Persiapan Penerapan SPn atau Sekolah Pembelajaran yang fleksibel ini tentu saja dianggap sebagai perubahan besar bagi guru dan siswa.
Fakta:

Kurikulum Merdeka tetap membutuhkan penilaian siswa secara berkala, baik berupa Psikotes maupun UKK. Bedanya, Kurikulum Merdeka menekankan pada penilaian yang holistik yang melihat potensi dan perkembangan siswa secara menyeluruh, bukan hanya kemampuan kognitif. Penilaian yang dilakukan guru akan lebih berbasis portofolio dan pemantauan pembelajaran, sekaligus mendorong kemampuan siswa dalam berpikir kritis, kreatif, dan kolaboratif.
Mitos 3: Kurikulum Merdeka Sama dengan Kurikulum 2013
Fakta:
Meskipun memiliki beberapa kesamaan, Kurikulum Merdeka memiliki distinct karakteristik.
Kurikulum 2013 tetap menjadi landasannya, namun Kurikulum Merdeka menawarkan perubahan signifikan dalam sejumlah aspek.
Berikut beberapa perbedaannya:
- Fleksibilitas: Kurikulum Merdeka memberikan banyak ruang bagi guru untuk menyesuaikan materi dan metode pembelajaran.
- Berfokus pada Kemahiran: Kurikulum Merdeka lebih menekankan pada pengembangan
kemampuan dan kompetensi siswa secara holistik, seperti berpikir kritis, kreatif, dan kolaboratif. - Keterampilan abad ke-21: Kurikulum Merdeka mengintroduksi pembelajaran keterampilan abad ke-21 seperti kemampuan berbahasa asing, literasi digital, dan literasi media.
- Kurikulum Daerah: Kurikulum Merdeka mendorong sekolah untuk mengembangkan komponen kurikulum daerah yang memperkuat identitas dan budaya lokal.

Mitos 4: Kurikulum Merdeka Diterapkan Secara Paksa
Fakta:
Penerapan Kurikulum Merdeka bersifat sukarela. Sekolah dan guru memiliki pilihan untukadopsi kurikulum ini.
Pengawasan Kualitas Kinerja Guru (PKKG) dan pengembangan kemampuan guru menjadi bagian yang esensial dari Kurikulum Merdeka.
Keputusan untuk menerapkan Kurikulum Merdeka sepenuhnya berada di tangan sekolah, dengan memperhatikan kondisi dan kebutuhan siswa.
Mitos 5: Kurikulum Merdeka Mengabaikan Peran Orang Tua
Fakta:
Orang tua tetap menjadi partner penting dalam pendidikan anak. Kurikulum Merdeka menghargai peran orang tua dalam memberikan dukungan dan bimbingan kepada anak.
Komunikasi antara sekolah dan orang tua akan lebih intensif untuk memastikan pemahaman bersama tentang tujuan dan pelaksanaan pembelajaran. Orang tua juga diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran dan pengembangan kurikulum di sekolah.
Kesimpulan
Mitos-mitos yang beredar seputar Kurikulum Merdeka dapat mengganggu pelaksanaan program ini secara efektif. Penting bagi kita untuk memahami fakta-fakta yang di balik reformasi pendidikan ini.
Kurikulum Merdeka hadir sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, memberi kebebasan bagi guru dalam mengajar, dan menitikberatkan pada pengembangan kemampuan siswa secara holistik. Penerapannya yang berbasis fleksibilitas dan kolaborasi diharapkan dapat menciptakan lingkungan pembelajaran yang lebih inovatif dan efektif.